Aku lahir beriring dengan pijaran bintang berekor di langit
sana. Paling tidak demikianlah Ayahku selalu berujar. Waktu itu sedang kemarau
di bulan September, dua tahun sebelumnya gunung Agung meletus. Hidup memang
sedang susah, bukan karena kemarau atau gunung Agung yang meletus itu
penyebabnya, namun memang keadaan negara sedang susah. Paling tidak
rakyat-rakyat seperti keluarga miskin macam kamilah yang mengerti susahnya,
ketika harus mengantri setiap hari untuk sedikit beras sehari, sekedar tempe
dan sayur kangkung, atau air bersih yang hanya dijatah mengucur beberapa jam
sehari saja dan upah kerja Ayahku yang tak kunjung cukup bahkan untuk keperluan
alakadarnya. Di tengah kesusahan itulah, aku lahir, yang konon menurut Ayahku,
bintang berekor ikut berpijar di langit lewat tengah malam dan pijarnya sungguh
cemerlang dengan ekor panjang yang menggemilang sepanjang langit malam.
Percayanya ia, bahwa lahirku adalah pertanda berpijarnya masa depanku kelak,
yang lantas menginspirasikan untuk memberiku nama Lintang.
****
Sekitar beberapa hari berselang dari itu, keadaan negara ini
berubah mencekam. Orang-orang hilang, besoknya ditemukan mengapung bergerumul
di kali belakang. Kadang saat malam itu, truk-truk besar berkeliling,
mengangkuti orang-orang yang dengan kasar dibangunkan dari tidur,
menggedor-gedor pintu di sana sini. Orang-orang jadi pendiam, tak berani mereka
membicarakan urusan-urusan seperti itu di tengah jalan. Banyak sekali
orang-orang yang bertengkar, dan esok malamnya salah satu dari mereka sudah
mengambang di sungai, atau hilang entah kemana. Negara semakin carut marut dan
rakyat-rakyat miskin seperti keluarga kami makin sengsara saja, diabaikan oleh
dewa-dewa yang sibuk berperang di atas sana.
Aku yang kala itu masih orok, tak mengalami langsung
peristiwa dan suasana-suasana di atas, aku hanya diceritakan ketika sudah mulai
dewasa. Kisah ini, sama kiranya seperti perang dalam lakon Bharatayudha, perang
saudara. Sama seperti perang Pandawa dan Kurawa di atas tanah Kurusetra. Kadang
kupikirkan, apakah ketika perang Bharatayudha, para anak raja itu berperang
demi nasib rakyat mereka? Ataukah memang hanya murni karena kekuasaan saja?
Atau mungkinkah dalam perang itu ada panah-panah menyasar yang kemudian membawa
bencana luar biasa di atas Bumi ini? Mendengarkan kisah tentang betapa
mencekamnya negara kala itu, rasanya seperti menonton lakon pewayangan tentang
kisah dewa di atas sana, dan demikianlah rakyat jelata sepertiku hanya patut
menonton saja ikut bertegang menyaksikan kisruh dewata. Sementara waktu, para
dewata itu memang sibuk berkisruh tanpa memikirkan nasib rakyatnya.
Keadaan ekonomi keluarga kami tak jualah membaik, sehingga
Ayah kembali berpulang ke dusun, saat itu umurku sudah sekitar lima tahun
dan aku dititipkan pada kerabat di Jakarta. Dusun sudah begitu sepi, rupanya di
pelosok memencil seperti inipun, tak luput dari pengangkutan orang-orang di
tengah malam seperti yang tadi sudah kuceritakan. Kakekku termasuk diantara
yang diangkut itu, dan nasibnya entah menjadi seperti apa sekarang. Tak sempat
ada kabar yang sampai ke Jakarta, mungkin karena keluarga kami di dusun sudah
habis semua. Demikianlah, Ayahku dipaksa melongo-longo melihat keluarga kami
yang seperti rumput yang dicabut sampai akar, tak menyisakan serumpunpun di
atas tanah dusun ini. Mungkin jika saat itu kami ada di sana, sudah ikut
dicabutnya kami dari tanah, dan aku akan disisakan sebagai bayi sebatang kara.
Orang-orang awam, jika pantas rakyat jelata disebut
demikian, mulai menghubungkan kekisruhan negara ini dengan pemandangan bintang
berekor setahun yang lalu. Mereka menafsirkannya sebagai pertanda bencana.
Ayahku, masih percaya bahwa bintang berekor itu adalah pertanda kegemilangan
masa depanku. Sementara, aku menganggapnya sebagai panah dewata yang menyasar
dalam perang Bharatayudha.
****
Seperti apa rasanya pulang ke kampung halaman? Aku tak
benar-benar tahu kemewahan perasaaan semacam itu. Aku tak punya kampung yang
bisa kuanggap rumah, karena, kau tahulah sejak lahir aku sudah tinggal di
Jakarta. Kemudian, kini tibalah aku di sini, sebuah dusun tempat Ayahku
dilahirkan. Mendiang Ayahku, lebih tepatnya. Retakan tanah menganga menyambut
kedatanganku serta kerontang pohon-pohon itu, tertancap di tanah, tegak namun
seperti mati. Kabar matinya Ayahku pula, yang membuatku datang.
Orang-orang dusun ini kupandangi asing, tak ada perasaan
apapun, karena memang aku tak mengenal mereka. Ingin rasanya aku pulang ke
sebuah tempat, dimana akan kupandangi orang-orang di tempat itu dengan
kerinduan. Tidak seperti ini, ketika di tengah terik aku menyusuri jalan-jalan
bertanah, tanpa ada satupun sapa apalagi peluk cium kerinduan.
Memang karena terlalu miskin, dititipkannya aku dahulu itu
ketika kedua orang tuaku pulang ke dusun ini. Di Jakarta, tumbuh aku dengan
Bibiku, yang semakin lama kuanggap Ibuku sendiri. Karena kebaikan majikan
Bibiku, dibiayainya aku sekolah bahkan sampai kuliah karena menurut mereka aku
memiliki potensi untuk jadi orang pintar. Aku menganggapnya sebagai pelarian,
karena pasangan majikan Bibiku itu tak punya anak, dan tentu mereka ingin
merasakan nikmatnya membiayai hidup seorang anak sampai tumbuh menjadi gadis
pintar dan mandiri. Ya, aku berterima kasih akan hal itu.
“Lintang!”
Ibuku berteriak gembira sekaligus sendu ketika dari depan
rumah dilihatnya aku datang. Sudah lamakah aku tak bertemunya? hingga tak sadar
lagi bahwa rambutnya mulai memutih. Wajah Ibuku menunjukkan rindu yang sangat
mendalam, dan oh, langsunglah aku sujud di kakinya. Menangis ia, membelai
punggungku dan kemudian menuntunku untuk kembali berdiri serta dipeluk aku agak
terlalu erat. Ya ia merinduku dengan sangat. Entah pula sudah berapa lama kami
tak bertemu, selama itukah hingga aku tak pernah menyadari putih di rambutnya?
Entah.
Sore harinya, bersama dengan matahari yang sudah terlalu
renta untuk hari ini, kami pergi melayat makam Ayah. Aku menangis mengiriminya
doa. Hanya beberapa warga yang datang pada hari kematian Ayahku. Dalam
remang-remang bulan purnama, ketika kami duduk menikmati angin malam, Ibu
menceritakan ini.
Entah apa dosa Ayah dan Ibuku, hingga kemudian sudah
kehilangan kakekkupun, mereka masih harus dikucilkan oleh sentimen warga dusun.
Tak seluruh warga sebenarnya yang bertindak demikian, masih ada dua atau tiga
warga yang berbaik pada mereka. Kakekku dan keluarganya ditangkap hanya karena
menjadi juru atur dalam pembagian bahan pangan cuma-cuma, yang diatas namakan
sebuah partai politik. Beliau tidak tahu urusan ideologi politik itu, beliau
hanya memikir tentang kesejahteraan warga dusun, dan setuju saja dengan program
pembagian bahan pangan tersebut. Kemudian ketika malapetaka itu terjadi, dimana
malam sebelumnya warga dusun terpana dengan pemandangan kemilau bintang berekor
di atas langit sana, berubahlah segala kebaikan itu. Atheis, demikianlah
anggapan dengki warga dusun, melihat kemudian sebagian besar warga kampung
diangkut ke dalam truk pada suatu malam. Ayahku, kemudian pula dianggap anak
atheis, walau sejak pertama datang, Ayah sudah rajin pergi ke masjid. Entah apa
mereka ini memang membenci Ayah dan Ibuku, atau ada ketakutan yang membuat
mereka tak berani untuk berdekat-dekat.
Hidup mereka di dusun ini tak kalah susah seperti ketika
masih di kota. Itulah mengapa mereka jarang sekali berkabar padaku. Untunglah
masih ada yang berbaik dan mempersilahkan Ayah untuk bekerja sebagai buruh
sawah milik pemuka agama di dusun ini. Namun, tentulah upah dari memburuh
semacam itu tidak terlalu cukup untuk menafkahi kebutuhan sehari-hari. Pernah
mereka pula ditawari untuk ikut dalam transmigrasi, sebagai bagian dari “Repelita
II,” namun Ayah rasanya tak sanggup hidup lebih jauh lagi dariku, walau selama
itu pula kami tak pernah bertemu.
Ayah sangat merindukanku. Sejak perpisahan pertama itu,
memang kami tak pernah lagi bertemu. Ayah tak punya uang untuk sekedar
berkunjung ke kota, ia juga segan untuk memintaku datang menggunakan uang
Bibiku. Hanya beberapa kali saja Ibuku seorang yang datang, mungkin uang mereka
hanya cukup untuk sedemikian saja. Selebihnya, kami hanya bersurat, dan dalam
beberapa kesempatan Bibi juga pernah mengirim mereka fotoku, sekarang terpajang
di atas lemari. Beberapa bulan yang lalu, sama seperti malam semacam ini, Ayah
melihat bintang berekor di langit sana. Pijar dan kemilau itu, dan bagaimana
lesatan yang bercahaya sejenak mewarnai langit menjadi jingga kemerahan,
membuat ia teringat padaku. Ia mulai menggumam, “Ah, anak kita akan berkunjung
kemari.” Ayah beranggap bahwa pemandangan itu merupakan pertanda.
Berbulan-bulan itu, aku tak jua datang. Kemaraulah yang datang, membuat sawah
dan segala tanah menjadi kering. Air sangat sulit sekali ditemukan. Ayah
meninggal di musim kemarau itu dan kematiannya yang justru membuatku datang.
Seperti ucap Ibuku, hanya sedikit warga yang mendatangi
rumah pada hari kematian Ayahku. Pasti sulit sekali keadaan waktu itu.
Beruntunglah, melalui pemahaman agama bahwa sebuah kewajiban untuk mensholati
jenazah muslim yang meninggal, maka cukup ramailah warga yang datang ketika
jenazah itu dibawa ke masjid, dan kemudian dikuburkan di dekat sana.
Adzan isya berkumandang dan selesailah kisah yang
diceritakan Ibuku. Aku lelah karena perjalanan yang cukup jauh. Kamipun kembali
masuk ke dalam rumah, sholat berjamaah kemudian beristirahat. Tidurku malam itu
sangatlah tidak tenang. Ya, aku masih merindukan Ayahku, walau sejak usia satu
tahun, aku tak pernah lagi bertemu langsung dengannya. Mungkin memang rasa
cinta itu sudah mendarah daging, sebagaimana darahnya telah mengalir pula di
dalam darahku.
****
Aku hanya menghabiskan beberapa hari saja di dusun itu. Tak
banyak memang yang bisa dilakukan di sini, terlebih musim kemarau belum juga
lewat. Tak tega rasanya untuk meninggalkan Ibuku seorang diri, dan kuboyonglah
ia ikut ke kota. Bibiku memang juga berpesan, “Kalau keadaan di sana terlalu
sulit, ajaklah Ibumu ikut kemari.” Demikian pula, karena itu menjadi amanah
Bibiku, akhirnya Ibu tak berkeberatan untuk menyetujui ajakanku.
Dengan modal dari majikan Bibiku, kini Ibu berjualan jus
buah di pasar dekat rumah. Belakangan ini memang tiba-tiba banyak sekali orang
yang berjualan jus buah, entah mengapa. Dagangan Ibuku terhitung lancar, dan
sekarang keadaannya menjadi lebih baik.
Suatu malam, aku bermimpi melihat bintang berekor yang
selalu dibicarakan oleh Ayahku. Ini pertama kali aku melihatnya, meski hanya
sekedar di dalam mimpi saja. Oh, memang indah rupanya bintang tersebut, dengan
kemilau ekor yang menggemilang panjang, merambah langit malam dengan
kesunyiannya. Pesona itulah pasti yang membuat Ayah terkagum-kagum padanya. Aku
tak memiliki prasangka atas mimpi itu. Beberapa hari setelahnya, aku mendengar
kabar mengenai operasi demi menjaga stabilitas keamanan yang disebut “operasi
clurit.” Esoknya, pamanku ditemukan mati di dalam karung, tergeletak di pinggir
jalan raya. Sejak itu, banyak sekali preman-preman yang mati di pinggir jalan
dengan luka tembakan. Masyarakat menyebutnya “mati dijus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar