Sabtu, 05 Januari 2013

Lintang


Aku lahir beriring dengan pijaran bintang berekor di langit sana. Paling tidak demikianlah Ayahku selalu berujar. Waktu itu sedang kemarau di bulan September, dua tahun sebelumnya gunung Agung meletus. Hidup memang sedang susah, bukan karena kemarau atau gunung Agung yang meletus itu penyebabnya, namun memang keadaan negara sedang susah. Paling tidak rakyat-rakyat seperti keluarga miskin macam kamilah yang mengerti susahnya, ketika harus mengantri setiap hari untuk sedikit beras sehari, sekedar tempe dan sayur kangkung, atau air bersih yang hanya dijatah mengucur beberapa jam sehari saja dan upah kerja Ayahku yang tak kunjung cukup bahkan untuk keperluan alakadarnya. Di tengah kesusahan itulah, aku lahir, yang konon menurut Ayahku, bintang berekor ikut berpijar di langit lewat tengah malam dan pijarnya sungguh cemerlang dengan ekor panjang yang menggemilang sepanjang langit malam. Percayanya ia, bahwa lahirku adalah pertanda berpijarnya masa depanku kelak, yang lantas menginspirasikan untuk memberiku nama Lintang.

****
Sekitar beberapa hari berselang dari itu, keadaan negara ini berubah mencekam. Orang-orang hilang, besoknya ditemukan mengapung bergerumul di kali belakang. Kadang saat malam itu, truk-truk besar berkeliling, mengangkuti orang-orang yang dengan kasar dibangunkan dari tidur, menggedor-gedor pintu di sana sini. Orang-orang jadi pendiam, tak berani mereka membicarakan urusan-urusan seperti itu di tengah jalan. Banyak sekali orang-orang yang bertengkar, dan esok malamnya salah satu dari mereka sudah mengambang di sungai, atau hilang entah kemana. Negara semakin carut marut dan rakyat-rakyat miskin seperti keluarga kami makin sengsara saja, diabaikan oleh dewa-dewa yang sibuk berperang di atas sana.
Aku yang kala itu masih orok, tak mengalami langsung peristiwa dan suasana-suasana di atas, aku hanya diceritakan ketika sudah mulai dewasa. Kisah ini, sama kiranya seperti perang dalam lakon Bharatayudha, perang saudara. Sama seperti perang Pandawa dan Kurawa di atas tanah Kurusetra. Kadang kupikirkan, apakah ketika perang Bharatayudha, para anak raja itu berperang demi nasib rakyat mereka? Ataukah memang hanya murni karena kekuasaan saja? Atau mungkinkah dalam perang itu ada panah-panah menyasar yang kemudian membawa bencana luar biasa di atas Bumi ini? Mendengarkan kisah tentang betapa mencekamnya negara kala itu, rasanya seperti menonton lakon pewayangan tentang kisah dewa di atas sana, dan demikianlah rakyat jelata sepertiku hanya patut menonton saja ikut bertegang menyaksikan kisruh dewata. Sementara waktu, para dewata itu memang sibuk berkisruh tanpa memikirkan nasib  rakyatnya.
Keadaan ekonomi keluarga kami tak jualah membaik, sehingga Ayah kembali  berpulang ke dusun, saat itu umurku sudah sekitar lima tahun dan aku dititipkan pada kerabat di Jakarta. Dusun sudah begitu sepi, rupanya di pelosok memencil seperti inipun, tak luput dari pengangkutan orang-orang di tengah malam seperti yang tadi sudah kuceritakan. Kakekku termasuk diantara yang diangkut itu, dan nasibnya entah menjadi seperti apa sekarang. Tak sempat ada kabar yang sampai ke Jakarta, mungkin karena keluarga kami di dusun sudah habis semua. Demikianlah, Ayahku dipaksa melongo-longo melihat keluarga kami yang seperti rumput yang dicabut sampai akar, tak menyisakan serumpunpun di atas tanah dusun ini. Mungkin jika saat itu kami ada di sana, sudah ikut dicabutnya kami dari tanah, dan aku akan disisakan sebagai bayi sebatang kara.
Orang-orang awam, jika pantas rakyat jelata disebut demikian, mulai menghubungkan kekisruhan negara ini dengan pemandangan bintang berekor setahun yang lalu. Mereka menafsirkannya sebagai pertanda bencana. Ayahku, masih percaya bahwa bintang berekor itu adalah pertanda kegemilangan masa depanku. Sementara, aku menganggapnya sebagai panah dewata yang menyasar dalam perang Bharatayudha.
****
Seperti apa rasanya pulang ke kampung halaman? Aku tak benar-benar tahu kemewahan perasaaan semacam itu. Aku tak punya kampung yang bisa kuanggap rumah, karena, kau tahulah sejak lahir aku sudah tinggal di Jakarta. Kemudian, kini tibalah aku di sini, sebuah dusun tempat Ayahku dilahirkan. Mendiang Ayahku, lebih tepatnya. Retakan tanah menganga menyambut kedatanganku serta kerontang pohon-pohon itu, tertancap di tanah, tegak namun seperti mati. Kabar matinya Ayahku pula, yang membuatku datang.
Orang-orang dusun ini kupandangi asing, tak ada perasaan apapun, karena memang aku tak mengenal mereka. Ingin rasanya aku pulang ke sebuah tempat, dimana akan kupandangi orang-orang di tempat itu dengan kerinduan. Tidak seperti ini, ketika di tengah terik aku menyusuri jalan-jalan bertanah, tanpa ada satupun sapa apalagi peluk cium kerinduan.
Memang karena terlalu miskin, dititipkannya aku dahulu itu ketika kedua orang tuaku pulang ke dusun ini. Di Jakarta, tumbuh aku dengan Bibiku, yang semakin lama kuanggap Ibuku sendiri. Karena kebaikan majikan Bibiku, dibiayainya aku sekolah bahkan sampai kuliah karena menurut mereka aku memiliki potensi untuk jadi orang pintar. Aku menganggapnya sebagai pelarian, karena pasangan majikan Bibiku itu tak punya anak, dan tentu mereka ingin merasakan nikmatnya membiayai hidup seorang anak sampai tumbuh menjadi gadis pintar dan mandiri. Ya, aku berterima kasih akan hal itu.
“Lintang!”
Ibuku berteriak gembira sekaligus sendu ketika dari depan rumah dilihatnya aku datang. Sudah lamakah aku tak bertemunya? hingga tak sadar lagi bahwa rambutnya mulai memutih. Wajah Ibuku menunjukkan rindu yang sangat mendalam, dan oh, langsunglah aku sujud di kakinya. Menangis ia, membelai punggungku dan kemudian menuntunku untuk kembali berdiri serta dipeluk aku agak terlalu erat. Ya ia merinduku dengan sangat. Entah pula sudah berapa lama kami tak bertemu, selama itukah hingga aku tak pernah menyadari putih di rambutnya? Entah.
Sore harinya, bersama dengan matahari yang sudah terlalu renta untuk hari ini, kami pergi melayat makam Ayah. Aku menangis mengiriminya doa. Hanya beberapa warga yang datang pada hari kematian Ayahku. Dalam remang-remang bulan purnama, ketika kami duduk menikmati angin malam, Ibu menceritakan ini.
Entah apa dosa Ayah dan Ibuku, hingga kemudian sudah kehilangan kakekkupun, mereka masih harus dikucilkan oleh sentimen warga dusun. Tak seluruh warga sebenarnya yang bertindak demikian, masih ada dua atau tiga warga yang berbaik pada mereka. Kakekku dan keluarganya ditangkap hanya karena menjadi juru atur dalam pembagian bahan pangan cuma-cuma, yang diatas namakan sebuah partai politik. Beliau tidak tahu urusan ideologi politik itu, beliau hanya memikir tentang kesejahteraan warga dusun, dan setuju saja dengan program pembagian bahan pangan tersebut. Kemudian ketika malapetaka itu terjadi, dimana malam sebelumnya warga dusun terpana dengan pemandangan kemilau bintang berekor di atas langit sana, berubahlah segala kebaikan itu. Atheis, demikianlah anggapan dengki warga dusun, melihat kemudian sebagian besar warga kampung diangkut ke dalam truk pada suatu malam. Ayahku, kemudian pula dianggap anak atheis, walau sejak pertama datang, Ayah sudah rajin pergi ke masjid. Entah apa mereka ini memang membenci Ayah dan Ibuku, atau ada ketakutan yang membuat mereka tak berani untuk berdekat-dekat.
Hidup mereka di dusun ini tak kalah susah seperti ketika masih di kota. Itulah mengapa mereka jarang sekali berkabar padaku. Untunglah masih ada yang berbaik dan mempersilahkan Ayah untuk bekerja sebagai buruh sawah milik pemuka agama di dusun ini. Namun, tentulah upah dari memburuh semacam itu tidak terlalu cukup untuk menafkahi kebutuhan sehari-hari. Pernah mereka pula ditawari untuk ikut dalam transmigrasi, sebagai bagian dari “Repelita II,” namun Ayah rasanya tak sanggup hidup lebih jauh lagi dariku, walau selama itu pula kami tak pernah bertemu.
Ayah sangat merindukanku. Sejak perpisahan pertama itu, memang kami tak pernah lagi bertemu. Ayah tak punya uang untuk sekedar berkunjung ke kota, ia juga segan untuk memintaku datang menggunakan uang Bibiku. Hanya beberapa kali saja Ibuku seorang yang datang, mungkin uang mereka hanya cukup untuk sedemikian saja. Selebihnya, kami hanya bersurat, dan dalam beberapa kesempatan Bibi juga pernah mengirim mereka fotoku, sekarang terpajang di atas lemari. Beberapa bulan yang lalu, sama seperti malam semacam ini, Ayah melihat bintang berekor di langit sana. Pijar dan kemilau itu, dan bagaimana lesatan yang bercahaya sejenak mewarnai langit menjadi jingga kemerahan, membuat ia teringat padaku. Ia mulai menggumam, “Ah, anak kita akan berkunjung kemari.” Ayah beranggap bahwa pemandangan itu merupakan pertanda. Berbulan-bulan itu, aku tak jua datang. Kemaraulah yang datang, membuat sawah dan segala tanah menjadi kering. Air sangat sulit sekali ditemukan. Ayah meninggal di musim kemarau itu dan kematiannya yang justru membuatku datang.
Seperti ucap Ibuku, hanya sedikit warga yang mendatangi rumah pada hari kematian Ayahku. Pasti sulit sekali keadaan waktu itu. Beruntunglah, melalui pemahaman agama bahwa sebuah kewajiban untuk mensholati jenazah muslim yang meninggal, maka cukup ramailah warga yang datang ketika jenazah itu dibawa ke masjid, dan kemudian dikuburkan di dekat sana.
Adzan isya berkumandang dan selesailah kisah yang diceritakan Ibuku. Aku lelah karena perjalanan yang cukup jauh. Kamipun kembali masuk ke dalam rumah, sholat berjamaah kemudian beristirahat. Tidurku malam itu sangatlah tidak tenang. Ya, aku masih merindukan Ayahku, walau sejak usia satu tahun, aku tak pernah lagi bertemu langsung dengannya. Mungkin memang rasa cinta itu sudah mendarah daging, sebagaimana darahnya telah mengalir pula di dalam darahku.
****
Aku hanya menghabiskan beberapa hari saja di dusun itu. Tak banyak memang yang bisa dilakukan di sini, terlebih musim kemarau belum juga lewat. Tak tega rasanya untuk meninggalkan Ibuku seorang diri, dan kuboyonglah ia ikut ke kota. Bibiku memang juga berpesan, “Kalau keadaan di sana terlalu sulit, ajaklah Ibumu ikut kemari.” Demikian pula, karena itu menjadi amanah Bibiku, akhirnya Ibu tak berkeberatan untuk menyetujui ajakanku.
Dengan modal dari majikan Bibiku, kini Ibu berjualan jus buah di pasar dekat rumah. Belakangan ini memang tiba-tiba banyak sekali orang yang berjualan jus buah, entah mengapa. Dagangan Ibuku terhitung lancar, dan sekarang keadaannya menjadi lebih baik.
Suatu malam, aku bermimpi melihat bintang berekor yang selalu dibicarakan oleh Ayahku. Ini pertama kali aku melihatnya, meski hanya sekedar di dalam mimpi saja. Oh, memang indah rupanya bintang tersebut, dengan kemilau ekor yang menggemilang panjang, merambah langit malam dengan kesunyiannya. Pesona itulah pasti yang membuat Ayah terkagum-kagum padanya. Aku tak memiliki prasangka atas mimpi itu. Beberapa hari setelahnya, aku mendengar kabar mengenai operasi demi menjaga stabilitas keamanan yang disebut “operasi clurit.” Esoknya, pamanku ditemukan mati di dalam karung, tergeletak di pinggir jalan raya. Sejak itu, banyak sekali preman-preman yang mati di pinggir jalan dengan luka tembakan. Masyarakat menyebutnya “mati dijus.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar